Kamis, 09 Januari 2014

7 Godaan Iblis Saat Sedang Sekarat

Assalamu'alaikum wr wb.

Iblis laknatullah memang tidak akan pernah menyerah untuk menyesatkan manusia. Bahkan pada saat detik-detik terakhir hidupnya manusia, iblis datang dengan membawa 7 golongan dengan tujuan mengajak manusia untuk masuk ke dalam neraka.


Kisahnya

Tak ada yang bisa selamat dari godaan iblis ini, KECUALI atas izin Allah SWT.
Oleh karena itulah kita senantiasa harus ingat akan ajaran yang disampaikan Rasulullah SAW untuk memohon perlindungan Allah SWT dari godaan iblis yang terkutuk.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW mengajarkan doa sebagai berikut,
"Ya Allah, aku berlindung kepada Engkau dari tipuan setan di waktu sakaratul maut."

7 Golongan Penggoda Manusia Saat Sekarat

Ketika manusia sedang dalam keadaan sakaratul maut, ia akan menemui7 golongan iblis yang akan mengajak kesesatan.
Siapa saja mereka.

Golongan pertama adalah iblis yang datang dengan berbagai rupa aneh seperti emas, perak dan lain sebagainya.
Golongan kedua adalah iblis yang datang dengan menyerupai binatang buas seperti harimau, srigala, dan ular yang berbisa.
Golongan ketiga adalah iblis yang menyerupai binatang kesayangannya.

Sedangkan golongan yang ke empat aadalah iblis yang menyerupai orang yang paling dibenci oleh orang yang akan mati itu.
Pada saat iblis datang, bisa dipastikan orang yang akan mati itu akan bereaksi dan mati tanpa mengingat Allah SWT.

Kelompok ke lima adalah iblis datang dengan menyerupai sanak saudarany seperti ayah dan ibunya sambil membawakan makanan dan minuman. Perlu diketahui bahwa orang yang dalam keadaan sakaratul maut itu sangat dan sangat mengharapkan makanan dan minuman karena saking dahaganya keadaan itu.
Dengan begitu oang itu akan mengambil makanan dan minuman dari iblis yang menyerupai ayah dan ibunya.

Rombongan ke enam adalah iblis yang menampakkan diri sebagai ulama-ulama yang membawa banyak kitab sambil berkata,
"Wahai muridku, ternyata kamu sedang sakit di sini, karena itu aku bawakan kamu dokter dan obat-obatan."

Tanpa pikir panjang, orang itu langsung meminum obat itu. Seketika sakitnya hilang, namun kemudian kambuh lagi.
Setelah itu, iblis berkata,
"Kali ini kami datang kepadamu untuk memberi nasehat agar kamu mati dalam keadaan baik, tahukah kamu bagaimana hakikat Allah SWT?"
"Aku tidak tahu,"jawab orang yang sekarat itu.

Ternyata Hanya Tipuan Iblis

"Ketahuilah,aku ini adalah seorang ulama yang sangat hebat. Kami baru saja kembali dari alam gaib dan telah mendapatkan surga tertinggi. Cobalah kamu lihat surga yang akan disediakan untukmu. Kalau kamu ingin mengetahui zat Allah SWT, maka patuhilah kami, "ucap iblis.

"Bagaimana Zat Allah itu? "tanya orang yang sekarat itu.
"Tunggulah sebentar lagi, dinding dan tirai akan dibukakan kepadamu, "jawab iblis.

Ketika tirai yang berwarna warna itu dibuka selapis demi lapis, maka orang yang dalam keadaan sekarat itu pun dapat melihat sebuah benda yang sangat besar, seolah-olah lebih besar dari langit dan bumi.
"Itulah dia Zat Allah SWT yang patut kita sembah, "jawab iblis.

"Wahau guruku, bukankah ini adalah hanya benda yang benar-benar sangat besar saja dan memiliki enam sisi seperti benda lain, atas bawah, kanan kiri dan depan belakang. Padalah Zat Allah SWT tidak menyerupai makhluk, Dia Maha Sempurna, Maha Suci dari sifat kekurangan. Tapi sekarang ini pula keadaannya, lain dari dari yang aku ketahui dulu. Tapi sekarang yang patut aku sembah ialah benda yang besar ini, "ujar orang yang sedang sekarat itu.

Dalam posisi penuh keraguan seperti itu, tiba-tiba Malaikat Maut datang dan terus mencabut nyawanya.
Maka matilah orang itu dalam keadaan kafir dan kekal di dalam neraka.

Rombongan yang ke tujuh atau yang terakhit adalah rombongan iblis yang datang dengan 72 barisan yang mengajak manusia tersesat di akhir hayatnya.

Astaghfirullah...

Semoga kita semua dimatikan dalam keadaan Khusnul Khatimah.
Amiiin...

Wa'alaikum salam wr wb.

Kamis, 02 Januari 2014

Kelebihan Janggut Pada Seorang Lelaki



Jika wanita mementingkan kecantikan dan keserian wajah, lelaki juga tidak terlepas daripada memikirkan perihal yang sama. Cuma menjadi perbezaan antara ‘kecantikan’ wanita dan lelaki adalah janggut. Janggut merupakan aset yang mampu menjadikan seorang lelaki itu kelihatan lebih ‘tulen’.

Terdapat pelbagai kelebihan dan kebaikan sekiranya seorang lelaki itu memiliki dan memelihara janggutnya. Antara kelebihan berjanggut adalah :
  1. Menampakkan kelelakian
  2. Kelihatan lebih ‘macho’
  3. Lebih hensem dan berkarisma
  4. Nampak soleh
  5. Membezakan lelaki sejati dengan lelaki yang tidak berapa sejati
  6. Lebih diminati wanita
  7. Mempunyai manfaat kesihatan
  8. Mencontohi fizikal tokoh-tokoh pemimpin dahulu

Namun ianya bukanlah sesuatu yang penting dan perlu di ambil berat malahan seorang lelaki yang berjanggut itu tetap lebih baik kelihatan daripada lelaki yang tidak berjanggut. Utamakan niat anda untuk berjanggut semata-mata ingin mengamalkan sebahagian daripada sunnah yang ditinggalkan Baginda Rasulullah SAW. Bukan berjanggut kerana mengikut fesyen terkini atau sebagainya.

Antara kata-kata ataupun hadith Baginda Rasulullah SAW yang berkaitan janggut adalah seperti :
“Tipiskanlah misai kamu dan peliharalah janggut kamu.” (Hadith Riwayat Bukhari)
“Janganlah kamu menyerupai orang-orang Musyrikin dan peliharalah janggut kamu.” (Hadith Riwayat Bukhari dan Muslim)
“Janganlah kamu meniru (menyerupai) orang-orang Majusi (penyembah berhala) kerana mereka itu memotong (mencukur) janggut mereka dan memanjangkan (memelihara) misai (kumis) mereka.” (Hadith Riwayat Muslim)
Hadith di atas menunjukkan bahawa bukan sahaja Baginda Rasulullah SAW menyuruh kita agar berjanggut, tetapi melarang kita dari menyerupai orang kafir iaitu dengan memelihara misai dan mencukur janggut mereka. Niatkan memelihara janggut kerana sunnah Rasullullh SAW nescaya anda akan melihat kelebihan dan merasai kebaikan berjanggut.

Selasa, 24 Desember 2013

Pengertian AL-Qur'an

Al-Qur'anTa’riful Qur’an
Menurut bahasa, “Qur’an” berarti “bacaan”, pengertian seperti ini dikemukakan dalam Al-Qur’an sendiri yakni dalam surat Al-Qiyamah, ayat 17-18:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan kami. (Karena itu), jika kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti bacaannya”.
Adapun menurut istilah Al-Qur’an berarti: “Kalam Allah yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad, yang disampaikan secara mutawatir dan membacanya adalah ibadah”.
Kalamullah
Al-Qur’an adalah kalamullah, firman Allah ta’ala. Ia bukanlah kata-kata manusia. Bukan pula kata-kata jin, syaithan atau malaikat. Ia sama sekali bukan berasal dari pikiran makhluk, bukan syair, bukan sihir, bukan pula produk kontemplasi atau hasil pemikiran filsafat manusia. Hal ini ditegaskan oleh Allah ta’ala dalam Al-Qur’an surat An-Najm ayat 3-4:
“…dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)…”
Tentang kesucian dan keunikan Al-Qur’an ini perhatikanlah kesaksian objektif Abul Walid[1] seorang jawara sastra pada masa Nabi saw: “Aku belum pernah mendengar kata-kata yang seindah itu. Itu bukanlah syair, bukan sihir dan bukan pula kata-kata ahli tenung. Sesungguhnya Al-Qur’an itu ibarat pohon yang daunnya rindang, akarnya terhujam ke dalam tanah. Susunan kata-katanya manis dan enak didengar. Itu bukanlah kata-kata manusia, ia tinggi dan tak ada yang dapat mengatasinya.” Demikian pernyataan Abul Walid.

Mu’jizat
Mu’jizat artinya suatu perkara yang luar biasa, yang tidak akan mampu manusia membuatnya karena hal itu di luar kesanggupannya. Mu’jizat itu dianugerahkan kepada para nabi dan rasul dengan maksud menguatkan kenabian dan kerasulannya, serta menjadi bukti bahwa agama yang dibawa oleh mereka benar-benar dari Allah ta’ala.
Al-Qur’an adalah mu’jizat terbesar Nabi Muhammad saw. Kemu’jizatannya itu diantaranya terletak pada fashahah dan balaghah-nya, keindahan susunan dan gaya bahasanya yang tidak ada tandingannya. Karena gaya bahasa yang demikian itulah Umar bin Khatthab masuk Islam setelah mendengar Al-Qur’an awal surat Thaha yang dibaca oleh adiknya Fathimah. Abul Walid, terpaksa cepat-cepat pulang begitu mendengar beberapa ayat dari surat Fushshilat.[2]
Karena demikian tingginya bahasa Al-Qur’an, mustahil manusia dapat membuat susunan yang serupa dengannya, apalagi menandinginya. Orang yang ragu terhadap kebenaran Al-Qur’an sebagai firman Allah ditantang oleh Allah ta’ala:
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad) buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang memang benar.” (QS. Al-Baqarah: 23)
Allah sendiri kemudian menegaskan bahwa tidak akan pernah ada seorang pun yang mampu menjawab tantangan ini (QS. 2: 24). Bahkan seandainya bekerjasama jin dan manusia untuk membuatnya, tetap tidak akan sanggup (QS. 17: 88).
Selain itu, kemukjizatan Al-Qur’an juga terletak pada isinya. Perhatikanlah, sampai saat ini Al-Qur’an masih menjadi sumber rujukan utama bagi para pengkaji ilmu sosial, sains, bahasa, atau ilmu-ilmu lainnya.
Menurut Miftah Faridl, banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dapat meyakinkan kita bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah, tidak mungkin ciptaan manusia, apalagi ciptaan Nabi Muhammad saw yang ummi (7: 158) yang hidup pada awal abad ke enam Masehi (571-632 M)[3]
Berbagai kabar ghaib tentang masa lampau (tentang kekuasaan di Mesir, Negeri Saba’, Tsamud, ‘Ad, Yusuf, Sulaiman, Dawud, Adam, Musa, dll) dan masa depan pun menjadi bukti lain kemu’jizatan Al-Qur’an. Sementara itu jika kita perhatikan cakupan materinya, nampaklah bahwa Al-Qur’an itu mencakup seluruh aspek kehidupan: masalah aqidah, ibadah, hukum kemasyarakatan, etika, moral dan politik, terdapat di dalamnya.

Al-Munazzalu ‘ala qalbi Muhammad saw
Al-Qur’an itu diturunkan khusus kepada Nabi Muhammad saw. Sedangkan kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi selain Nabi Muhammad saw—seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa atau Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa—tidak bisa dinamakan dan disebut sebagai Al-Qur’an. Demikian pula hadits qudsi[4] tidak bisa disamakan dengan Al-Qur’an.
Al-Qur’an diturunkan Allah ta’ala kepada Nabi Muhammad saw dengan berbagai cara[5]:
  1. Berupa impian yang baik waktu beliau tidur.Kadang-kadang wahyu itu dibawa oleh malaikat Jibril dengan menyerupai bentuk manusia laki-laki, lalu menyampaikan perkataan (firman Allah) kepada beliau.
  2. Kadang-kadang malaikat pembawa wahyu itu menampakkan dirinya dalam bentuk yang asli (bentuk malaikat), lalu mewahyukan firman Allah kepada beliau.
  3. Kadang-kadang wahyu itu merupakan bunyi genta. Inilah cara yang paling berat dirasakan beliau.
  4. Kadang-kadang wahyu itu datang tidak dengan perantaraan malaikat, melainkan diterima langsung dari Hadirat Allah sendiri.
  5. Sekali wahyu itu beliau terima di atas langit yang ketujuh langsung dari Hadirat Allah sendiri.
Al-Manquulu bi-ttawaatir
Al-Qur’an ditulis dalam mushaf-mushaf dan disampaikan kepada kita secara mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang), sehingga terpelihara keasliannya. Berikut sekilas sejarah pemeliharaan Al-Qur’an sejak masa Nabi hingga pembukuannya seperti sekarang:
Pada masa Nabi Al-Qur’an dihafal dan ditulis di atas batu, kulit binatang, pelapah tamar dan apa saja yang bisa dipakai untuk ditulis. Kemudian setahun sekali Jibril melakukan repetisi (ulangan), yakni dengan menyuruh Nabi memperdengarkan Al-Qur’an yang telah diterimanya. Menurut riwayat, di tahun beliau wafat, ulangan diadakan oleh Jibril dua kali.
Ketika Nabi wafat, Al-Qur’an telah dihafal oleh ribuan manusia dan telah ditulis semua ayat-ayatnya dengan susunan menurut tertib urut yang ditunjukkan oleh Nabi sendiri.
Berdasarkan usulan Umar bin Khattab, pada masa pemerintahan Abu Bakar diadakan proyek pengumpulan Al-Qur’an. Hal ini dilatar belakangi oleh peristiwa gugurnya 70 orang penghafal Al-Qur’an dalam perang Yamamah. Maka ditugaskanlah Zaid bin Tsabit untuk melakukan pekerjaan tersebut. Ia kemudian mengumpulkan tulisan Al-Qur’an dari daun, pelapah kurma, batu, tanah keras, tulang unta atau kambing dan dari sahabat-sahabat yang hafal Al-Qur’an.
Dalam upaya pengumpulan Al-Qur’an ini, Zaid bin Tsabit bekerja sangat teliti. Sekalipun beliau hafal Al-Qur’an seluruhnya, tetapi masih memandang perlu mencocokkan hafalannya dengan hafalan atau catatan sahabat-sahabat yang lain dengan disaksikan dua orang saksi. Selanjutnya, Al-Qur’an ditulis oleh Zaid bin Tsabit dalam lembaran-lembaran yang diikatnya dengan benang, tersusun menurut urutan ayat-ayatnya sebagaimana yang telah ditetapkan Rasulullah saw.
Pada masa Utsman terjadi ikhtilaf tentang mushaf Al-Qur’an, yakni berkaitan dengan ejaan, qiraat dan tertib susunan surat-surat. Oleh karena itu atas usulan Huzaifah bin Yaman, Utsman segera membentuk panitia khusus yang dipimpin Zaid bin Tsabit beranggotakan Abdullah bin Zubair, Saad bin Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk melakukan penyeragaman dengan merujuk kepada lembaran-lembaran Al-Qur’an yang ditulis pada masa khalifah Abu Bakar yang disimpan oleh Hafsah, isteri Nabi saw.
Al-Qur’an yang dibukukan oleh panitia ini kemudian dinamai “Al-Mushaf” dan dibuat lima rangkap. Satu buah disimpan di Madinah—dinamai “Mushaf Al-Imam”—dan sisanya dikirim ke Mekkah, Syiria, Basrah dan Kufah. Sementara itu lembaran-lembaran Al-Qur’an yang ditulis sebelum proyek ini segera dimusnahkan guna menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf, satu bacaan[6], dan satu tertib susunan surat-surat.

Al-Muta’abbadu bitilawatih
Membaca Al-Qur’an itu bernilai ibadah. Banyak sekali hadits yang mengungkapkan bahwa membaca Al-Qur’an adalah merupakan bentuk ibadah kepada Allah yang memiliki banyak keutamaan, diantaranya adalah:
Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya Allah akan memberi pahala kepadamu karena bacaan itu untuk setiap hurufnya 10 kebajikan. Saya tidak mengatakan kepada kalian bahwa ‘Alif-Laam-Mim’ itu satu huruf, tetapi ‘alif’ satu huruf, ‘Laam’ satu huruf dan ‘Miim’ satu huruf” (HR. Hakim).
“Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan menjadi cahaya bagimu di bumi dan menjadi simpanan (deposito amal) di langit.” (HR. Ibnu Hibban).
“Orang yang mahir dalam membaca Al-Qur’an bersama para malaikat yang mulia lagi taat. Dan barangsiapa membaca Al-Qur’an, sementara ada kesulitan (dalam membacanya), maka baginya dua pahala. “ (HR. Bukhari & Muslim)
***

[1] Abul Walid adalah seorang sastrawan Arab yang jarang bandingannya. Suatu saat ia diperintahkan para pemimpin Quraisy untuk menghadap Nabi Muhammad saw dengan maksud membujuk beliau supaya meninggalkan dakwah Islam dengan janji bahwa beliau akan diberi pangkat, harta dan sebagainya. Abul Walid menyampaikan bujukannya ini dan membacakan syair-syair. Tapi kemudian Nabi Muhammad saw membacakan surat Fushilat dari awal sampai akhir. Abul Walid pun tertarik dan terpesona mendengarkan ayat itu sehingga ia termenung memikirkan keindahan gaya bahasanya. Ia kemudian datang kepada para pemimpin Quraisy dan mengatakan kata-kata di atas. [2] Pokok-pokok Ajaran Islam, DR. Miftah Faridl, Pustaka Bandung hal. 9.
[3] Di antara ayat-ayat tersebut umpamanya QS. 39: 6, 6: 125, 23: 12-14, 51: 49, 41: 11: 41, 21: 30-33, 51:7, 49 dan lain-lain
[4] Menurut para ulama hadits qudsi ialah: “Sesuatu yang diberitakan Allah kepada Nabi saw dengan perantaraan Jibril, atau dengan jalan ilham atau mimpi waktu tidur, lalu oleh beliau disampaikan kepada ummat dengan lafadz dan ucapan beliau sendiri, berdasarkan taufiq dari Allah ta’ala. Apabila Rasulullah saw meriwayatkan hadits qudsi, biasanya mengucapkan “Qaala-Llahu ta’aala” (Allah berfirman…), tapi firman itu tidak dimasukkan dalam Al-Qur’an. Begitu juga uslub-nya (susunan kata) tidak sama dengan uslub ayat-ayat Al-Qur’an.
[5] Lihat Kelengkapan Tarikh Muhammad (Gema Insani Press) hal. 142-143.
[6] Bacaan (qiraat) yang dikenal oleh masyarakat muslim saat ini bermacam-macam, tetapi bacaan yang berbeda-beda itu tidak berlawanan dengan ejaan mushaf-mushaf Utsman.

Senin, 11 November 2013

Hiburan Yang Di Anjurkan Islam


Hiburan sejati ialah hiburan yang bertapak di hati. Ia boleh membawa hati yang tenang. Syarat bagi ketenangan hati itu ialah dengan mengisi keperluan asasinya iaitu iman. Firman Allah Subhanahu wa ta‘ala dalam Al-Qur‘an yang tafsirnya :
“Orang-orang yang beriman dan tenang tenteram hati mereka dengan zikir kepada Allah. Ketahuilah! Dengan zikir kepada Allah itu, tenang tenteramlah hati manusia”. - (Surah Al-ra‘ad: 28)
Oleh itu orang yang beriman akan mendapat hiburan dengan cara berhubung dengan Allah dengan melaksanakan perintah, kewajipan, melakukan perkara-perkara yang disunatkan seperti zikir, puasa, sedekah dan lain-lain seumpamanya, berinteraksi dengan alam ciptaan Allah, dan menerima segala ketentuan daripada Allah Subhanahu wa Ta‘ala.

Apabila melaksanakan perintah Allah, mereka terhibur kerana merasakan perintah itu datang daripada kekasihnya. Kalau yang menyuruh itu kekasih, tidak ada yang disusahkan bahkan kegembiraan yang akhirnya membawa ketenangan. Mereka rasa seronok dan terhibur dengan ibadah tersebut.

Orang mukmin juga rasa terhibur dengan warna kehidupan yang dicorakkan oleh Allah. Hatinya sentiasa bersangka baik dengan Allah, membuatkannya tidak pernah resah. Apabila diberi nikmat mereka rasa terhibur, lalu bersyukur. Diberi kesusahan, mereka terhibur, lalu bersabar. Mereka yakin dengan firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala yang tafsirnya :
“(Katakanlah wahai orang-orang yang beriman: “Ugama Islam yang kami telah sebati dengannya ialah): Celupan Allah (yang mencorakkan seluruh kehidupan kami dengan corak Islam); dan siapakah yang lebih baik celupannya selain daripada Allah? (Kami tetap percayakan Allah) dan kepadaNyalah kami beribadat” (Surah Al-Baqarah: 138)
Orang yang beriman juga akan terhibur apabila melihat alam ciptaan Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Mereka merasa tenang, bahagia dan gembira melihat pantai, bukit bukau, langit, laut dan sebagainya. Melihat, mendengar dan berfikir tentang keindahan itu sudah cukup bagi mereka merasai keindahan alam dan kebesaran penciptaNya. Sifat sedemikian merupakan sifat orang-orang yang bertaqwa iaitu orang yang berusaha memelihara dirinya daripada menyalahi hukum dan undang-undang Allah Ta‘ala. Firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala tafsirnya :
“Sesungguhnya pertukaran malam dan siang silih berganti, dan pada segala yang dijadikan oleh Allah di langit dan di bumi, ada tanda-tanda (yang menunjukkan undang-undang dan peraturan Allah) kepada kaum yang mahu bertaqwa”. (Surah Yunus: 6)
Selain itu mereka ini dapat menghayati maksud sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang maksudnya:
“Sesungguhnya Allah itu indah. Dia suka keindahan”. (Hadis riwayat Muslim)
Islam tidak menolak hiburan dari luar selama hiburan luar itu boleh menyumbang dan menyuburkan lagi hiburan dalaman hati dengan syarat ia mematuhi syariat. Alunan ayat suci Al-Qur‘an, selawat yang memuji Nabi, lagu yang menyuburkan semangat jihad, puisi atau syair yang menghaluskan rasa kehambaan kepada Tuhan, pasti akan menyuburkan lagi iman mereka. Firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala yang tafsirnya :
“Allah telah menurunkan sebaik-baik perkataan iaitu kitab suci Al-Qur‘an yang bersamaan isi kandungannya antara satu dengan yang lain (tentang benarnya dan indahnya), yang berulang-ulang (keterangannya, dengan berbagai cara); yang (oleh kerana mendengarnya atau membacanya) kulit badan orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka menjadi seram; kemudian kulit badan mereka menjadi lembut serta tenang tenteram hati mereka menerima ajaran dan rahmat Allah”. (Surah Al-Zumar: 23)
FirmanNya lagi yang tafsirnya :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu (yang sempurna imannya) ialah mereka yang apabila disebut nama Allah (dan sifat-sifatNya) gementerlah hati mereka; dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, menjadikan mereka bertambah iman, dan kepada Tuhan mereka jualah mereka berserah”. (Surah Al-Anfaal: 2)
Dan firmanNya lagi yang tafsirnya :
“Iaitu orang-orang yang apabila disebut nama Allah, gerun gementarlah hati mereka, dan orang-orang yang sabar terhadap kesusahan yang menimpa mereka, dan orang-orang yang mendirikan sembahyang, serta orang-orang yang mendermakan sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepadanya”. (Surah Al-Hajj: 35)
Semua ibadat jika dilaksanakan dengan penuh perhatian, pasti akan memberi ketenangan jiwa, lihat sahaja ibadat sembahyang, sekalipun merupakan suatu kewajipan orang Islam, ia juga suatu hiburan yang kekal yang menjadikan hati orang yang beriman dan bertaqwa itu terhibur dengan sembahyang kerana mereka terasa sedang berbisik-bisik, bermesra, mengadu dan merintih dengan kekasih hatinya iaitu Allah Subhanahu wa Ta‘ala.

Hal ini telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahawa dengan sembahyang, hati orang beriman dan bertaqwa sudah terhibur, Baginda bersabda yang maksudnya :
“Di antara kesenangan dunia yang aku sukai ialah wanita, wangi-wangian dan penenang hatiku adalah sembahyang”. (Hadis riwayat Al-Nasa‘ei)

Bagaimanakah Tidur Yang Tidak Membatalkan Wudhu’?


Wudhu disyari‘atkan untuk mengangkat hadats kecil. Orang yang berwudhu akan berada di dalam keadaan suci dan seterusnya dapat menunaikan ibadat-ibadat yang hanya sah apabila dia berkeadaan suci daripada hadats seperti sembahyang, thawaf serta memegang mushaf al-Qur’an.

Keharusan melakukan perbuatan-perbuatan tersebut akan terhenti dengan berlakunya perkara-perkara yang boleh membatalkan wudhu dan di antara perkara yang membatalkan wudhu itu ialah tidur.

Jumhur ulama mazhab fiqh menyimpulkan, tidur itu boleh membawa kepada batalnya wudhu. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
Maksudnya: “Pengikat (pengawal) dubur (daripada keluar sesuatu daripadanya) itu ialah dua belah mata (jaga), makasesiapa yang tidur, hendaklah dia berwudhu.”(Hadits riwayat Abu Daud)
Hadits tersebut bermaksud bahawa sedar atau jaga (tidak tidur) itu akan mengawal keluarnya sesuatu dari dubur, manakala orang yang tidur kadang-kadang keluar sesuatu daripada duburnya tanpa disedarinya.

Walau bagaimanapun, adakah semata-mata tidur membatalkan wudhu? Apakah sukat-sukat tertentu yang menjadi ukuran dalam penentuan tidur yang boleh membatalkan wudhu itu?

Untuk menjawab persoalan tersebut, berikut dijelaskan perkaraperkara yang berkaitan dengan tidur yang membatalkan wudhu dan yang tidak membatalkan wudhu mengikut pendapat para ulama mazhab Syafi‘e.

Tidur Yang Tidak Membatalkan Wudhu

Para ulama mazhab Syafi‘e menjelaskan dengan terperinci mengenai tidur yang tidak membatalkan wudhu itu. Mereka berpendapat bahawa tidur itu bagaimanapun keadaannya boleh membatalkan wudhu kecuali tidur di dalam posisi duduk,sama ada duduk di atas lantai atau tanah seperti duduk di atas tikar sembahyang atau duduk di atas kerusi seperti duduk di dalam kapal terbang dan termasuklah duduk sambil memeluk lutut. Tidur dengan cara demikian tidaklah menyebabkan wudhu batal, tetapi hendaklah memenuhi syarat atau ketetapan berikut :

1) Hendaklah tetap tempatnya (punggung dan tempat keluar hadats) di atas tanah, lantai, kerusi, binatang tunggangan atau selainnya, iaitu dua pipi punggungnya tetap pada tempatnya, tidak berubah dari posisi awal sebelum dia tidur, sekalipun jika seseorang itu bersandar atau duduk berpeluk lutut pada atau di atas sesuatu yang boleh menyebabkan dia jatuh atau gugur apabila sesuatu itu tiada. Ini kerana tidur dalam keadaan ini tidak dikhuatiri akan keluar sesuatu (angin) dari duburnya (kentut). Adapun kebarangkalian keluarnya sesuatu dari qubul bukanlah perkara yang perlu diambil kira kerana ianya jarang berlaku.

Namun jika diyakini keluar angin daripada qubul sama ada lelaki atau perempuan, maka wudhu itu tetap batal.

2) Hendaklah tiada ruang di antara punggung dan tempat tetapnya itu ataupun tidak renggang di antara keduanya. Wudhu seseorang tidak akan batal jika terdapat ruang yang ditutup dengan sesuatu seperti kapas.
Wudhu orang yang tidur dengan posisi sedemikian adalah tidak batal. Perkara ini bersandarkan kepada hadits yang diriwayatkan dari Anas Radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:
Maksudnya: “Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah tidur kemudian mereka berdiri menunaikan sembahyang dengan tidak (lagi) mengambil wudhu.” (Hadits riwayat Muslim)
Perbuatan tidur yang dimaksudkan di dalam hadits ini ialah tidur dalam keadaan duduk yang tetap dan menurut riwayat lain, para sahabat itu tidur dalam keadaan duduk yang tetap sehingga kepala mereka terangguk-angguk hampir mencecah lantai. Mereka tidak lagi mengambil wudhu dan terus menunaikan sembahyang Isya’.Wudhu seseorang yang tidur dengan duduk yang tetap juga tidak batal jika pipi punggung atau salah satu pipi punggungnya berubah dari tempat asal atau terangkat selepas atau ketika dia bangun atau
sedar. Ini kerana asal keadaannya yang suci setelah berwudhu. 

Tidur Yang Membatalkan Wudhu

Wudhu seseorang akan batal jika tidurnya itu dalam keadaan yang tidak memenuhi syarat atau ketetapan di atas, iaitu apabila dia tidur dengan posisi punggung yang tidak tetap, tidur dengan posisi berdiri atau tidur dengan posisi berbaring, menelentang mahupun bertiarap walaupun dengan menutup atau menyumbat sesuatu
seperti kapas pada ruang antara punggung dan tempat letak punggung tersebut.

Tidur dalam keadaan duduk yang tetap juga boleh menyebabkan wudhu batal, jika seseorang mendapati punggungnya telah berubah dari tempat asalnya atau terangkat sebelum dia bangun atau sedar ataupun tempat duduknya berlubang-lubang seperti kerusi rotan.

Ini kerana telah berlalu (berlaku) detik dia tidur dengan tidak tetap duduknya.

Adakah Wudhu Batal Disebabkan Mengantuk?

Wudhu seseorang tidak menjadi batal disebabkan mengantuk. Sekiranya seseorang menutup mata kerana mengantuk, tetapi masih dapat mendengarkan percakapan orang di sekeliling, maka dia masih boleh saja melakukan ibadat tanpa perlu mengambil wudhu semula kerana dia dikira masih jaga.

Antara tanda-tanda orang yang mengantuk itu ialah, dia masih dapat mendengar percakapan orang di sekelilingnya walaupun tidak memahami percakapan itu. Adapun jika dia tidak sedar, tidak mendengar lagi
percakapan di sekelilingnya dan bermimpi, maka dia telah dikira tidur.

Adakah Wudhu Batal Disebabkan Rasa Syak Atau Ragu?

Menurut para ulama, wudhu seorang yang tidur dengan posisi duduk yang tetap tidak batal dalam keadaan seperti berikut:-

1) Jika dia merasa ragu atau syak sama ada pipi punggungnya atau salah satu pipi punggungnya berubah dari tempat asal atau terangkat.

2) Jika dia merasa ragu atau syak sama ada pipi punggungnya atau salah satu pipi punggungnya berubah dari tempat asal atau terangkat sebelum atau sesudah dia bangun atau sedar.

3) Jika dia merasa ragu atau syak sama ada dia tidur dengan posisi duduk yang tetap atau berubah.

4) Jika dia merasa ragu atau syak sama ada dia tidur atau hanya mengantuk.

Dalam hal lain mengenai perkara syak atau ragu ini juga, ulama ada menjelaskan bahawa seseorang yang merasa yakin dia masih dalam keadaan suci atau berwudhu’ apabila dia merasa ragu adakah wudhu’nya terbatal atau tidak, maka perasaan ragunya itu tidak menjejaskan wudhu’nya.

Oleh itu, dia boleh mendirikan sembahyang dengan wudhu’nya itu. Begitu juga sebaliknya, jika seseorang merasa yakin bahawa wudhunya sudah terbatal kemudian dia merasa ragu apakah dia masih mempunyai wudhu’, maka dihukumkan bahawa wudhunya telahpun terbatal.

Sekiranya timbul ragu pada diri seseorang, maka hendaklah diteruskan dengan apa yang diyakininya. Ini bersesuaian dengan salah satu qa‘idah fiqhiyyah yang menyebut bahawa:

Ertinya: “Keyakinan tidak dihilangkan oleh keraguan.”

Ini bermaksud keyakinan adalah satu perkara yang tetap, manakala ragu adalah satu perasaan yang mendatang. Oleh itu, sesuatu perkara itu dihukumkan mengikut apa yang tetap (yang diyakini) dan bukan yang diragui. 

Sunat Berwudhu Walaupun Tidur Dengan Posisi Yang Tidak Membawa Kepada Batal Wudhu

Walau bagaimanapun, seorang yang tidur dengan posisi yang tidak menyebabkan wudhunya batal adalah disunatkan untuk berwudhu lagi atas alasan berwaspada dari keberangkalian keluarnya hadats dan mengelak dari khilaf (perselisihan) para ulama.

Dalam pada itu juga, ulama mazhab Syafi‘e telah sepakat mengatakan bahawa memperbaharui wudhu itu adalah satu amalan yang dituntut mengikut keadaan tertentu.

Menurut pendapat yang ashah, memperbaharui wudhu itu disunatkan hanya apabila dia telah mengerjakan sembahyang fardhu atau sunat dengan wudhunya yang pertama tadi. Al-Qadhi Abu ath-Thaiyib di dalam kitabnya Syarh al-Furu‘, al-Baghawi, alMutawalli, ar-Ruyani dan lain-lain ulama mazhab memutuskan bahawa jika seseorang itu belum menggunakan wudhunya yang pertama dengan melakukan apa jua ibadah, maka hukum memperbaharui wudhu itu adalah makruh. 

Ibnu Hajar Rahimahullah pula menegaskan bahawa tuntutan sunat memperbaharui wudhu itu ialah apabila dia telah mengerjakan apa jua sembahyang sekalipun yang hanya satu rakaat. Jika dia tidak bersembahyang, walaupun telah melakukan sujud (sajdah atau syukur) ataupun thawaf tidaklah disunatkan memperbaharui wudhu, bahkan hukumnya adalah makruh.

Demikianlah dihuraikan beberapa perkara mengenai tidur dalam keadaan berwudhu. Kesimpulannya, wudhu tidak batal disebabkan tidur dalam posisi duduk dengan tempat yang tetap di atas lantai atau seumpamanya dan wudhu tidak batal jika ia disertai dengan perasaan ragu akan berlakunya perkara-perkara yang membawa kepada batal akibat tidur.

 
Template designed by Dede Fahadi AND Powered By: Suksesku.com